YOGYAKARTA, KOMPAS.com — Peristiwa Gerakan 30 September 1965 tidak akan pernah terungkap secara utuh karena semua tokoh kunci gerakan tersebut sudah meninggal dunia, kata sejarawan dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Budiawan.
"Rangkaian kejadiannya memang dapat terlacak, tetapi siapa yang sesungguhnya menjadi dalang gerakan tersebut tidak akan pernah diketahui karena sudah tidak ada tokoh kunci gerakan tersebut yang masih hidup," katanya di Yogyakarta, Kamis.
Selain itu, menurut dia versi-versi sejarah tentang Gerakan 30 September yang diungkapkan para ahli hanya mengungkapkan secara sepotong-sepotong dan sebagian besar tidak melalui metodologi penelitian baku.
"Versi tunggal yang digunakan oleh rezim Orde Baru ternyata juga tidak sepenuhnya benar, cenderung mendramatisasi fakta, bahkan berbagai pihak menganggap versi Soeharto dongeng belaka," katanya.
Selain itu, ia mengatakan, diskriminasi yang dialami oleh mantan tahanan politik Orde Baru telah mengakibatkan beban psikologis kepada para mantan tahanan politik tersebut.
"Setelah mereka dibebaskan tidak serta-merta mendapatkan kebebasan yang sesungguhnya karena pada kenyataannya mendapat stigma sangat buruk dari kalangan masyarakat," katanya.
Ia mengatakan, diskriminasi tersebut tidak hanya datang dari negara dan masyarakat, tetapi para mantan tahanan politik Orde Baru itu juga mendapat diskriminasi dari saudara mereka.
"Situasi yang mengondisikan para mantan tahanan politik tersebut menjadi pihak yang serba salah. Orde Baru berperan besar dalam menciptakan diskriminasi tersebut," katanya.
Menurut dia, aparatur negara tidak merasa mendiskriminasikan para mantan tahanan politik karena merasa memiliki payung hukum yang sah untuk menempatkan para mantan tahanan politik sebagai warga yang patut dibedakan.
"Oleh karena itu, sampai saat ini para mantan tahanan politik tersebut masih menyimpan trauma dan menanggung beban psikologis yang sangat berat," katanya.
"Rangkaian kejadiannya memang dapat terlacak, tetapi siapa yang sesungguhnya menjadi dalang gerakan tersebut tidak akan pernah diketahui karena sudah tidak ada tokoh kunci gerakan tersebut yang masih hidup," katanya di Yogyakarta, Kamis.
Selain itu, menurut dia versi-versi sejarah tentang Gerakan 30 September yang diungkapkan para ahli hanya mengungkapkan secara sepotong-sepotong dan sebagian besar tidak melalui metodologi penelitian baku.
"Versi tunggal yang digunakan oleh rezim Orde Baru ternyata juga tidak sepenuhnya benar, cenderung mendramatisasi fakta, bahkan berbagai pihak menganggap versi Soeharto dongeng belaka," katanya.
Selain itu, ia mengatakan, diskriminasi yang dialami oleh mantan tahanan politik Orde Baru telah mengakibatkan beban psikologis kepada para mantan tahanan politik tersebut.
"Setelah mereka dibebaskan tidak serta-merta mendapatkan kebebasan yang sesungguhnya karena pada kenyataannya mendapat stigma sangat buruk dari kalangan masyarakat," katanya.
Ia mengatakan, diskriminasi tersebut tidak hanya datang dari negara dan masyarakat, tetapi para mantan tahanan politik Orde Baru itu juga mendapat diskriminasi dari saudara mereka.
"Situasi yang mengondisikan para mantan tahanan politik tersebut menjadi pihak yang serba salah. Orde Baru berperan besar dalam menciptakan diskriminasi tersebut," katanya.
Menurut dia, aparatur negara tidak merasa mendiskriminasikan para mantan tahanan politik karena merasa memiliki payung hukum yang sah untuk menempatkan para mantan tahanan politik sebagai warga yang patut dibedakan.
"Oleh karena itu, sampai saat ini para mantan tahanan politik tersebut masih menyimpan trauma dan menanggung beban psikologis yang sangat berat," katanya.